Bumi
itu aku
Matahari
itu kisahku
Panas
tapi bercahaya
Aku
percaya
Bersama
planet dari galaxi ini
Revolusi
ini bukan mimpi
Aku
tidak takut
Berjalan
bersama keluarga yang utuh membuat langkah gadis kecil itu begitu lepas, nyaris
seperti terbang. Di ujung sana, duduk perempuan dan laki-laki tua. Masih sibuk
dengan isaran TV nya.
“Ape
aci,
Enik!”
ungkapnya sambil berlari kecil.
“Hime!”
Θ
Sapuan
angin senja menenangkan siapa saja yang duduk di sana. Termasuk remaja dengan
rambut panjang terurai yang duduk di kursi hijau itu. Tatapannya kosong pada
hamparan luas sawah di balik pagar besi. Raganya di sini, tidak begitu dengan
pikirannya. Mata cantiknya nyaris tidak berkedip. Sulit dipercaya, gadis 16
tahun itu sempat tersenyum.
“Menyedihkan!”
ucapnya lirih kemudian bangkit dari kedudukannya. Hanya berdiri diam, tak
menunggu siapapun. Cahaya senja membuat kulit putihnya merona semakin indah.
Lamunan akan peristiwa tujuh tahun silam masih mendominasi pikirannya. Mukanya
terlihat sangat kacau. Sesekali juga tersenyum sinis pada bayang semu
disekitarnya.
“Hime!”
suara perempuan berteriak asalnya dari dalam rumah yang tak terlalu besar itu.
Jelas sekali sedang memanggil remaja yang sedang birdiri tegap dihadapan senja.
“Dea!” jawab
hime pada suara yang sudah tidak asing baginya. Suara yang menemaninya lebih
dari 16 tahun ini.
“Masuk
cepat, sebentar lagi magrib. Tidak baik jam segini di luar rumah.”
“Dea,
Ibu. Ini Hime masuk.” Seperti berat untuk beranjak tapi harus, ia berjalan
menuju pintu bercat biru di ujung sana.
Θ
Hari
ini sangat melelahkan. Matahri bersinar garang. Hime hanya mampu menghempaskan
diri di sofa panjang dekat TV. Tulang-tulangnya hamper remuk karena harus naik
turun tangga berulangkali saat di sekolah tadi. Lega rasanya dapat meregangkan
otot sejenak, kantuk pun perlahan menemani. Jam 2 siang, ini memang waktunya
untuk tidur.
“Hime….Hime….!”
suara kecil it membuat langkah kakinya tersendat. Dengan sedikit hembusan nafas
pasrah, Hime berjalan menuju kamae utama.
“Dea,
Nik. Kenapa?” tanya Hime sopan.
“Enik
mau ke kamar mandi!” jawab wanita tua di ujung kasur.
Hime
langsung mengambil kursi roda di pojokan kamar. Mengarahkannya pada wanita tua
tadi, ibu dari ayahnya. Setelah nenek tadi sempurna telah duduk di kursi roda,
dengan segera ia antarkan ke kamar mandi. Yah, inilah bagian dari rutinitasnya
6 bulan terakhir ini. Semenjak neneknya jatuh dan mengalami pergeseran tulang
pada kaki kanannya, Himelah yang menjadi salah satu kaki bagi neneknya. Mungkin
lebih tepatnya lagi Ayah, Ibu, Hime dan adiknya adalah kaki yang sempurna untuk
wanita tua itu.
Setelah
mengeluarkan neneknya dari kamar mandi, Hime berlari kecil menuju kamarnya.
Merebahkan diri dan ingin segera terlelap. Sore ini ada pelajaran tambahan di
sekolahnya.
Satu
setengah jam kenudian
Hime bangun
dengan raut muka cemas. Satu etengah jam telah ia habiskan dalam dunia bawah
sadarnya. Ia bergegas bangun dan mandi. Tak ada banyak waktu untuk dapat datang
tepat jam empat ke sekolahnya.
“Akh,
Sial!” umpat Hime dalam hati.
Setelaqah
berganti baju, Hime sehera membereskan buku-bukunya ke dalam tas. Sore ini Hime
persis seperti Ayam yang kehilangan induknya. Bingung sendiri.
“Ayah,
Hime pergi dulu.” Pamit Hime padi laki-laki paling disayanginya.
“Hime
mau kemana buru-buru begitu?” tanya sang ayah.
“Ini
ada pelajaran tambahan di sekolah. Hime pergi dulu ya, Yah. Takutnya nanti
telat.” Pamit Hime sembari mencium tangan ayahnya kemudian berlalu pergi.
Θ