Pagi tak bertuan, begitu aku
menyebutnya. Karena bagiku pagi itu milik Tuhan. Dikaki bukit hijau dan di bawah
awan mendung kota, mataku dibangunkan oleh sebentuk cahaya penuh berwarna.
Dipayungi langit milik bumi lalu dihiasi pelangi, retina mataku ikut merona
melihat sebentuk warna, kali ini bukan lagi hitam dan putih. Meskipun tetap
saja keberadaannya karena gelap, gelap yang terbias cahaya selepas titik hujan.
Sejuk saja rasanya, gelap dan warna menjadi satu pagi yang menakjubkan.
Meskipun Venus, sang bintang timur
tertutup mendung, pelangi ada sebagai ganti mengindahkan pagi. Ya, pengganti.
Aku masih duduk di gubuk pagi milikku sendiri dengan secangkir kopi penghangat
sepi. Walau rasanya masih saja dingin karena tiup angin yang berhembus seidkit
menguasai seluruh lini. Tak ada mentari, yang ada hanya pagi seperti ini.
Tumben saja tak ada garis-garis awan
yang berseliweran. Lucunya, yang ada hanya garis-garis bimbang di dahiku.
Rasanya terlihat sehitam kopi pagi. Bagaimana tidak, aku ini muda yang hamper
selalu merasa berada ditengah tumpukan masalah. Sebenarnya bukan hanya muda,
tapi juga manusia. Seandainya saja suaruku nantinya takkan menabuh jaunting
penghuni di sini, seandainya saja aku hanya hidup sendiri, aku ingin sekali
teriak dan menyalahkan apa saja yang bisa aku salahkan. Ya tapi apa boleh buat,
aku tau diri. Aku takkan menjadi gaduh abgi orang lain setelah aku berhasil
menjadi gaduh bagi diriku sendiri. Karena aku tahu rasanya pahit, sepahit kopi
yang kucicip.
Kulirik Tab disampingku, ada jendela
browser yang terus saja memperbaharui garis waktunya. Meskipun karenanya mukaku
kusut, tetap saja kupandangi tiap gerak perpindahan garis waktu . sederetan
manusia menulis berbagai diary terbuka didalamnya, namanya twiter. Kemajuan
teknologi nampaknya benar-benar mempermainkan akal. Semoga twitter dan
sejenisnya itu tetap ada disaat kertas dan pena langka di dunia.