Selasa, 10 Juli 2012

Kisah dalam Cerita


Bumi itu aku
Matahari itu kisahku
Panas tapi bercahaya
Aku percaya
Bersama planet dari galaxi ini
Revolusi ini bukan mimpi
Aku tidak takut

            Berjalan bersama keluarga yang utuh membuat langkah gadis kecil itu begitu lepas, nyaris seperti terbang. Di ujung sana, duduk perempuan dan laki-laki tua. Masih sibuk dengan isaran TV nya.
            “Ape aci[1], Enik[2]!” ungkapnya sambil berlari kecil.
            “Hime!”
Θ
            Sapuan angin senja menenangkan siapa saja yang duduk di sana. Termasuk remaja dengan rambut panjang terurai yang duduk di kursi hijau itu. Tatapannya kosong pada hamparan luas sawah di balik pagar besi. Raganya di sini, tidak begitu dengan pikirannya. Mata cantiknya nyaris tidak berkedip. Sulit dipercaya, gadis 16 tahun itu sempat tersenyum.
            “Menyedihkan!” ucapnya lirih kemudian bangkit dari kedudukannya. Hanya berdiri diam, tak menunggu siapapun. Cahaya senja membuat kulit putihnya merona semakin indah. Lamunan akan peristiwa tujuh tahun silam masih mendominasi pikirannya. Mukanya terlihat sangat kacau. Sesekali juga tersenyum sinis pada bayang semu disekitarnya.
            “Hime!” suara perempuan berteriak asalnya dari dalam rumah yang tak terlalu besar itu. Jelas sekali sedang memanggil remaja yang sedang birdiri tegap dihadapan senja.
            “Dea[3]!” jawab hime pada suara yang sudah tidak asing baginya. Suara yang menemaninya lebih dari 16 tahun ini.
            “Masuk cepat, sebentar lagi magrib. Tidak baik jam segini di luar rumah.”
            “Dea, Ibu. Ini Hime masuk.” Seperti berat untuk beranjak tapi harus, ia berjalan menuju pintu bercat biru di ujung sana.
Θ
            Hari ini sangat melelahkan. Matahri bersinar garang. Hime hanya mampu menghempaskan diri di sofa panjang dekat TV. Tulang-tulangnya hamper remuk karena harus naik turun tangga berulangkali saat di sekolah tadi. Lega rasanya dapat meregangkan otot sejenak, kantuk pun perlahan menemani. Jam 2 siang, ini memang waktunya untuk tidur.
            “Hime….Hime….!” suara kecil it membuat langkah kakinya tersendat. Dengan sedikit hembusan nafas pasrah, Hime berjalan menuju kamae utama.
            “Dea, Nik. Kenapa?” tanya Hime sopan.
            “Enik mau ke kamar mandi!” jawab wanita tua di ujung kasur.
            Hime langsung mengambil kursi roda di pojokan kamar. Mengarahkannya pada wanita tua tadi, ibu dari ayahnya. Setelah nenek tadi sempurna telah duduk di kursi roda, dengan segera ia antarkan ke kamar mandi. Yah, inilah bagian dari rutinitasnya 6 bulan terakhir ini. Semenjak neneknya jatuh dan mengalami pergeseran tulang pada kaki kanannya, Himelah yang menjadi salah satu kaki bagi neneknya. Mungkin lebih tepatnya lagi Ayah, Ibu, Hime dan adiknya adalah kaki yang sempurna untuk wanita tua itu.
            Setelah mengeluarkan neneknya dari kamar mandi, Hime berlari kecil menuju kamarnya. Merebahkan diri dan ingin segera terlelap. Sore ini ada pelajaran tambahan di sekolahnya.

Satu setengah jam kenudian
            Hime bangun dengan raut muka cemas. Satu etengah jam telah ia habiskan dalam dunia bawah sadarnya. Ia bergegas bangun dan mandi. Tak ada banyak waktu untuk dapat datang tepat jam empat ke sekolahnya.
            “Akh, Sial!” umpat Hime dalam hati.
            Setelaqah berganti baju, Hime sehera membereskan buku-bukunya ke dalam tas. Sore ini Hime persis seperti Ayam yang kehilangan induknya. Bingung sendiri.
            “Ayah, Hime pergi dulu.” Pamit Hime padi laki-laki paling disayanginya.
            “Hime mau kemana buru-buru begitu?” tanya sang ayah.
            “Ini ada pelajaran tambahan di sekolah. Hime pergi dulu ya, Yah. Takutnya nanti telat.” Pamit Hime sembari mencium tangan ayahnya kemudian berlalu pergi.
Θ
           
Senja kembali. Burung-burung pulang bersama iringannya. Lagi-lagi pegal lekat menempel pada sendi-sendi Hime. Benar saja, ini hari yang melelahkan. Kegiatannya di sekolah sore ini sungguh menguras tenaga dan pikiran. Saat menginjakan kaki pada anak tangga pertama rumahnya, azan magrib berbunyi.
            “Assalamualaikum.” Salam Hime dari luar pintu rumah.
            “Waalaikumsalam.” Jawab suara berat dari dalam sana.
            “kenapa lam sekali pulang, sudah magrib begini. Kebiasaan!”
            “tadi memang kegiatannya lama, Ape aci. Jadi pulangnya juga lama. Ada pelajaran tambahan hari ini.” Ucap Hime membela diri seraya berjalan terus menuju kamarnya. Belum juga sempat berganti pakaian. Suara yang taka sing tentunya, dari kamar utama.
            “Dea.” Jawab Hime dengan nada kesal.
            “Ambilkan enik air!” dengan sigap Hime mengambilkan apa yang diminta oleh neneknya itu.
            “Ini, Nik.” Katra Hime sambil mengarahkan mug merah berisi air penuh.
            “Ambilkan enik makan juga. Ini kan sudah waktunya makan, Hime!” pinta neneknya untuk kedua kali. Muka kesal jelas terpancar dari muka Hime. Tapi toh tetap saja ia beranjak dari ruangan itu mengambil makan malam untuk neneknya.
            Hime kembali dengan sepiring makanan di tangannya. Kemudian ia letakan dia atas meja di samping tempat tidur nenenknya.
            “Astaga, enik lupa. Tolong ambilkan baju enik di rumah darea’[4]!” ucap neneknya lagi, untuk ketiga kali. Wajah putih Hime kini merah padam. Ia benar-benar lelah. Apa neneknya ini tidak mengerti itu, bentaknya dalam hati. Tapi seperti biasa, tak ada kata tidak untuk permintaan neneknya. Dengan langkah gontai, Hime berjalan menuju rumah kakak Ayahnya itu. Memang hanya di sepan rumah, tapi tenaga Hime nyaris tak cukup untuk menjangkaunya.
Θ
            Kamar itu tidak terlalu besar, dengan cet pink dan biru yang melekat pada dindingnya membuat ruangan itu menjadi terang dipandang. Hime duduk diujung kasurnya, memegang buku tebal. Bulan depan adalah penentu baginya. Ujian Nasional. Itu adalah titik akhir perjuangannya selama tiga tahun.
            “Mbak, itu dipanggil sama enik loh!” ujar anak kecil di tengah pintu kamar.
            “Minta tolong Putri dulu yang bantu enik ya? Mbak kan lagi belajar.” Jawab Hime pelan.
            “Putri lagi jaga Anggi. Ibu sama Ayah lagi pergi. Cepat dah mabk bantu enik.” Selesai mengungkapkannya, Putri langsung beranjak dari kamar itu.
            Tak ada alasan untuk menolak. Dengan pasrah Hime menuju kamar nenknya untuk kesekian kali hari ini. Melakukan hal yang telah menjadi rutinitasnya.
            “Ya Allah, sabarkanlah hamba-Mu ini.” Doa Hime dalam hati.
            Sementara di runag TV, dua wanita sedang duduk memperhatikan siaran-siaran TV yang terus digonta.ganti. Hime berjalan kea rah dua wanita ini. Wanita yang sidah lama ia kenal.
            “Hime, coba sini. Liat ini, Lala baru beli Blackberry tadi sore.” Ucap wanita yang lebih tua.
            “Iya, Darea’. Hime sudah tau sih.” Sergah Hime singkat. Hime terlihat sangat jengah dan jengkel.
            “Bukankah di sini ada darea’ dan Lala. Mengapa enik tidak minta tolong saja pada mereka. Pada enik tau, bulan depan aku aka nada Ujian Nasional?” omel Hime dalam hati.
            “Hime!” suara neneknya membuat Hime tersentak, langsung bangkit lalu pergi kea rah kamar mandi. Suara kursi roda mendominasi suara-suara yang ada di ruangan itu. Tapi itu biasa, dinding-dinding kamar juga sudah terbiasa.
Θ
            Sang fajar muncul dari tempat peristirahatannya. Menimbulkan rona merah langit. Burung-burung terbang mencari makan. Semua sibuk dengan hidupnya masing-masing, termasuk gadis yang sedari yadi disibukkan dengan buku-buku pelajarannya. Selasa pagi, selasa yang sibuk.
            Hime terus melirik jam merah yang tergantung di dinding kamarnya. Selalu melihat dengan sikap menyelidik. Kali saja jarum pendeknya akan berlari ke satu angka lebih cepat dari sebelumnya. Sudah setengah tujuh. Waktunya menuju rumah kedua, sekolah.
            Gerbang belum terlalu ramai. Hanya segelintir siswa saja yang sudah menginjakan kaki di salah satu SMA favorite di Sumbawa. Sudah banya rencana yang tertumpuk dalam kepala Hime. Rencana-rencana yang ingin segera diselesaikan.
            “Hime!” suara centil remaja khas remaja memanggilnya.
            “Eh, Vita. Gimana, udah daftar untuk UMPTN belum?” tanya Hime sembari berjalan ke kelas mereka.
            “Hari ini baru aku mau daftar. Kamu sendiri bagaimana?”
            “Gimana kalau kita daftar samaan. Kamu ambil universitas sama jurusan apa, Vit?”
            “Boleh-boleh. Aku sih ambil di Brawijaya Malang, sama UNHAS di Makasar ambil jurusan Ilmu Pemerintahan. Kalau kamu?”
            “InsyaAllah sih aku ambil di UGM Yogyakarta sama Brawaijaya juga, ambilnya jurusan Antropologi Budaya. Ndak tau dah mana yang bisa keterima. Aku sih ingin sekali di UGM.” Ungkap Hime antusias. Ini bukan hanya tentang masa depan bagi Hime. Ini adalah hidup dan matinya, harapannya, dan juga pegangannya.
Θ
            Semua beres. Tapi sebenarnya tidak juga. Masih ada Ujian Nasional yang menunggu di ujung sana. Beberapa minggu lagi adalah penentuan dari segalanya. Perasaan tegang semakin membakar Hime bersamaan dengan Matahari yang telah sempurna di peraduannya. Saat harus kembali pada rutinitas-rutinitasnya di rumah, saat itulah dia harus bisa melepas sedikit pikiran-pikiran negative tentang kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi dalam hidupnya. Focus pada suatu pekerjaan, itulah yang sedang ia usahakan saat ini.
            Lama ia berkutat dengan pekerjaan-pekerjaanya. Mulai dari membersihkan rumah, hingga mendorong kursi roda neneknya. Saat berada di kamar kedua orang tuanya, ada seorang hendak membuka pintu dari balik tembok. Wanita dengan muka usut, memndam amarah besar.
            “Nanti kalau kamu cari suami itu jangan seperti ayahmu. Supaya hidupmu tidak perlu numpang seperti kita sekarang!” ucap wanita tadi dengan nada membentak.
            “Kenapa sih, Bu?”
            “Ayahmu itu memang suka begitu, tidak pernah mau menghrgai pengorbanan kita elama ini. Semuanya tidak pernah cukup. Kalau ibu mau, sudah Ibu tinggalkan Ayahmu itu dari dulu!” ucapan ibu kali ini membuat jantung hime seakan berhenti berdetak. Seperti ada petir menggelegar diatas kepalanya. Rasa sakit dalam dadanya ditumpahkan dengan air mata. Benteng pertahanannya runtuh. Hime hanya diam.
            “Dikira ibu ndak pernah didik kalian sampai kalian ngeluyur tiap sore. Terus yang selama ini ibu lakukan itu apa? Dikiranya kita di sini untuk urus ibunya saja. Hanya mendorong kursi roda tanpa berbuat yang lain!”
            Keasaan kini semakin memanas. Air mata mengucur deras. Ini bukan pertama kalinya ibu bertengkar dengan ayah gara-gara masalah nenek. Hime pun tak bisa berbuat apa-apa, sebab dia juga merasa hal yang sama dengan ibunya. Bedanya mungkin hanya pada Hime yang selalu menahan rasa sakitnya itu
            Setelah mendengarkan ibunya marah panjang lebar, hime segera lari ke kamarnya. Entahlah, ia masih saja malu menangis di depan orang tuanya sendiri. Sesak sekali terasa di dada bagi Hime. Untuk menghirup udara saja seperti tak mampu. Hime tak tau harus menenagkan diri dengan cara pa lagi saat itu. Dia merasa dinding-dinding pun sudah bosan mendengarkan keluhan yang sama setiap hari dari mulut Hime. Tanpa pikir panjang, diambilnya buku diary di ats meja yang tak terlalu tinggi itu, di sudut kamarnya. Baginya, hanya menulislah obat paling mujarab, saat tak ada lagi yang mampu mendengarnya berbicara.
“Keadaan sedikit demi sedikit melumpuhkanku. Aku jiwa yang mati. Jalan yang kemarin kulihat terbuka, perlahan tertutup sejak peristiwa itu. Dengan kisah yang seperti ini, aku takut takkan bisa berjalan sampai akhir. Segalanya harapan kosong. Itu yang aku tahu. Itu yang mereka katakana padaku.”
Θ
            Malam yang mencekam. Bulan telah sepurna bundar di langit. Bintang-bintang menggelantung di angkasa. Tapi tetap saja mencekam. Malam yang gelap, tentu saja. Hamper sama gelapnya dengan perasaan gadis yang meringkuk di ujung kasur, tempat favoritnya. Nafasnya tersengal, isakan-isakan kecil terdengar. Tampilannya juga berantakan. Mukanya sangat lusuh.
            Hingga malam berganti pagi, menjadi malam lagi, kemudian pagi lagi, begitu seterusnya. Masih saja ada hal yang mengganjal dalam hatinya. Rasa benci, dendam, penyesalan. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah ia iba dengan hidupnya sendiri. Hamper selalu begitu tiap harinya.
Θ
Pagi ini sekolah ramai. Guru-guru sibuk dengan bungkusan coklatnya. Murid-murid disibukkan dengan alat tulis dan ruangan kelasnya. Hari ini kan jadi hari yang paling bersejarah untuk mereka. Mungkin juga kana jadi hari yang paling menegangkan sepanjang tahun. Tak jarang ada siswa yang sidah lebih dulu meneteskan keringat. Ujian Nasional, eksekusi bagi mereka setelah hamper tiga tahun ini. Begitu juga untuk Hime.
“Lancarkanlah hari ini dan tiga hari kedepan, Ya Allah.” Ito bagian dari doa Hime. Doa teman-temannya juga tentunya.
Bel berbunyi, artinya eksekusi dimulai. Eksekusi bagi siapa saja yang ada di sana. Ekspresi  persis seperti seseorang yang sedang mempertahankan hidup.
Hime memperhatikan satu per satu butir soal yang ada. Sosiologi, pelajaran tentang kehidupan sehari-hari yang cukup membingungkan. Matanya tak melirik selain pada soal di depannya. Focus adalah satu-satunya cara untuk mengingat apa yang sidah dipelajarinya semalam suntuk, tanpa menyisipkan hal lain. 90 menit itu, bisa saja menjungkir balikan hidup Hime.
Θ
Lega sekali rasanya telah 4 hari Ujian Nasional, 4 hari penentuan kini telah berlalu. Untuk sementara ini takkan ada lagi matematika dengan segala rumus rumitnya. Ekonomi dengan setumpuk hafalan dan hitungan. Tak ada lagi belajar untuk sementara waktu. Senyum mengembang di tiap langkah kaki Hime.
Samar terdengar teriakan-teriakan kecil yang menyayat, Hime tau pemilik suara itu. Kemudia ia melangkahkan kaki perlahan, mengendap. Berdiri di depan pintu, mendengar sekasama suara orang tuanya dari balik dinding.
Benar saja, hal menyedihkan itu terjadi lagi. Dia pikir ini akan jadi hari yang menyenangkan. Ingin sekali ia katakana pada kedua orang tuanya, dia telah berhasi menyelesaikan soal-soal romit itu dengan baik. tapi apa masih mungkin baginya, jika baru sampai sini saja dia harus mendengar pertengkaran orang tuanya. Lagi-lagi karena masalah nenek.
Ibu marah pada Ayah, dan ayah tak mau kalah. Dua-duanya terbakar emosi yang meledak-ledak. Terkadang ada penyesalan dalam hati Hime. Mengapa harus ia terima tawaran ibunya 7 tahun yang lalu untuk pindah ke Sumbawa jika semuanya hanya akan seperti ini. Namun lagi-lagi Hime harus menelan penyesalan itu. Ia ingin ayah dan ibunya hidup di satu rumah, bukan Ayah di Sumbawa dan Ibu di Malang. Tinggal di rumah nenek seperti sekaranglah resikonya.
Θ
            “Hime, bagaimana persiapan untuk perpisahan besok?” tanya ibu.
            “Sudah beres, Bu. Doakan Hime ya, semoga Hime dapat hasil yang bauk besok.” Pintanya.
            “Tentu, tanpa Hime minta pun, seorang ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya.”
            “Ayah mana, Bu?”
            “Ayah sedang pergi, besok Ayah yang akan hadir di acara perpisahan sekolahmu.”
            Demikianlah malam itu menjadi malam yang haru bagi keduanya. Jangkrik-jangkrik pun ikut bernyanyi untuk malam itu. Doa-doa bergema sepanjang malam. Doa seorang ibu untuk anaknya yang pandai menyembunyikan luka.
Θ
            Semua pasang mata tertuju pada gadis denga kebaya ungu di depan gedung megah itu. Dengan sanggul yang elok dan paras yang cantik membuat mata manapun tak mau tuk berkedip. Hari itu hari yang cearah dan semua orang disna berharap, takdir juga akan cerah pada pagi ini.
            Duduk menanti pengumuman kelulusan, itulah yang Hime dan teman-temanya lakukan sekarang. Mengikuti seluruh rangkaian panjang acara sungguh melatih kesabaran Hime.
            “Yah, bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati serta siswa sekalian yang saya cintai. Dengan sangat bangga saya nyatakan siswa kami lulus 100 persen!” ucap kepala sekolah di atas panggung disambut riuh kegirangan dari mulut para siswa.
            “Dan yang lebih membanggakan, ada satu siswa kami yang mampu lolos di Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang secara kebetulan adalah satu-satunya siswa kami yang lolos masuk UGM ini.”
            Jantung Hime langsung berdegup kencang. Tiba-tiba saja ia tak yakin pada dirinya sendiri. Hime seakan menutup mata dan telinga. Hingga ia sendiri bingung saat ayahnya memeluk tubuh Hime.
            “Selamat ya, Nak!”  suara sang Ayah membuatnya tercengang.
            “Kamu lolos masuk UGM, kamu ini bagaimana sih!” sontak Hime kaget dengan apa yang Ayahnya barusan katakana. Ia masih tak percaya. Dia berhasil dengan ujiannya, berhasil dengan UMPTN nya, berhasil dengan rasa sabarnya lebih adri 7 tahun ini. Gusti mengabulkan doa Hime.

[1] Sebutan untuk kakek yang dipakai oleh segelintir orang sumbawa
[2] Sebutan untuk nenek yang dipakai oleh segelintir orang sumbawa
[3] Sama seperti “iya”. Dipakai oleh golongan darah biru di sumbawa
[4] Panggilan untuk kakak dari Ayah atau Ibu

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog. Copyrights 2011.