Sabtu, 08 Juni 2013

Cerpen: Tragedi

Gelapnya malam kembali datang, memenuhi panggilan di atas panggung Januari yang dalam perjalanan menuju akhir. Datangnya tiap semilir angin membawa selaksa penuh rasa kantuk bagi yang terkena, termasuk pada gadis dengan pakaian tidur Winnie De Pooh di sudut tempat tidurnya. Hidup dan segala aktifitasnya membuat malam dijadikan sandaran nyaman menguapkan lelah bagi para musafir Tuhan. Cukup lama gadis tadi hanya duduk dan membiarkan pikirannya pergi jauh bertualang, kemudian saat ia telah merasa cukup maka ia memutuskan untuk berbaring. Keheningan mulai menuntun ke dalam lelap yang hanya miliknya sendiri, disitu. Ia membiarkan dingin mengantarkannya ke dalam balik kelopak mata, kepada layar-layar terkembang miliknya dan malam.
                Pagi itu telah terlihat dua kaki yang menopang tubuh seorang gadis di depan bangunan besar bercat hijau tua, sama tuanya dengan bangunan itu. Sebuah perpustakaan ilmu milik manusia yang telah dipenuhi peminjam segala ruang di bumi. Manusia dengan segala rupa dan gaya, berjalan dengan siapa yang dia ingin, menjauhi siapa yang dia ingin. Gadis tadi hanya memindahkan tiap derik langkahnya sendiri, mendengar tiap dentuman suara telapak kaki siapa saja yang melewatinya. Bisingnya suara-suara hanya membuat ia seidikit memicingkan mata menajamkan segala indera, suara siapa, bicara apa.

                “Naya!” suara terfokus yang mampu tertangkap indera gadis tadi, ia berhenti. Nama yang dipanggil itu miliknya.
                “Lesu sekali pagi-pagi?” lanjut gadis satu lagi.
                “Pagi ini yang mengirmkan lesu. Mendung dibagi hujan, kurang rasanya.” balas Naya. Mereka bertiga mengayunkan langkah bersama, menuju satu kelas diantara ruang-ruang berjejer. Kelas tepat di depan pohon beringin, mereka berhenti.
                Demikian pagi berlalu bersama sederatan angka dan huruf yang melesak masuk memaksa dicerna dalam kepala yang kemudian menciptakan sederetan euphoria dalam benak. Bergntinya jarum-jarum waktu terasa terlalu cepat, lebih terlihat seperti lompatan-lompatan ingatan yang datang untuk berlalu sehingga semua kejadian hanya berupa sekelebat bayang yang segera hilang.
                Seorang laki-laki berpakain resmi masuk perlahan ke dalam kelas Naya. Ucapan-ucapan ringan terdengar dalam suara bisik kepada guru yang sedari tak berhenti bersuara. Kemudian saat dua pasang mata itu melirik kearah Naya, ia tahu ada sesuatu tapi tetap menunggu.
                “Naya, tadi petugas TU berkata kalau orang tua kamu menelepon dan meminta kamu untuk segera pulang. Mereka bilang ada hal penting dan kamu diperbolehkan izin pulang sekarang.” Begitu yang Naya dengar dari gurunya. Urusan penting macam apa yang diamksud orang tuanya hingga dia harus segera pulang. Naya masih terus berpikir meskipun langkah kakinya mulai menjauhi kelas.
                Teriknya bintang siang hilang disembunyikan awan kelabu, tetapi sibuknya kota tak pernah juga mereda. Naya memutuskan pulang berjalan kaki sampai belokan di ujung jalan diaman ada tempat kemudian baru mencari angkutan umum. Aneh baginya berkeliaran disepanjang jalan disaat ia seharusnya hanya duduk mendengar suara-suara di bangku belajarnya. Meskipun ia tahu ada hal penting yang katanya sedang menunggu dia di rumah, Naya teta berlenggang santai menyusuri tiap garis-garis aspal di depannya.  Tak ada kesunyian yang merbahkan diri ditengah-tengah hiruk pikuk manusia. Rebut sekali terdengar, suara motor dan mobil yang berseliweran tank behenti, suara orang-orang dengan segala kepentingannya sendiri, bergabung menjadi harmonisasi gaduhnya jalan raya.
                Pandangan Naya yang terkadang lurus kedepan menangkap segerobolan massa yang entah sedang apa. Ada mobil polisi memimpin kerumunan “Hanya demo.” pikir Naya. Memang  tepat di depan  massa itu adalah sebuah kantor polisi. Apalagi yang diributkan oleh manusia-manusia itu. Tuntutan-tuntutan atas segala keinginan yang belum terpenuhi atau sebuah legalisasi demokrasi untuk menunjukan diri, siapa aku atau lihatlah aku.
                Kerumunan massa tadi hanya berjarak 20 meter dari tempat Naya berjalan. Saat tiba-tiba semua orang mulai berlarian menjauhi keramaian, Naya terhenyak. Kebisingan tak lagi tentang suara motor dan mobil yang bersautan namun juga suara manusia dengan segala keributan. Di depan kantor polisi tadi, massa mulai tak beraturan, Naya sadar ada yang tidak beres. Ia sendiri kebingungan hendak lari kemana, sedang halte yang menjadi tujuannya tepat dua bangunan setelah kantor polisi yang telah ramai itu. Ingin kembali ke sekolah juga terasa percuma setelah setengah jalan tertah terlewati.
                “Bu, ada apa? Kenapa semua orang jadi rebut seperti ini?” Naya bertanya pada salah seorang Ibu-ibu yang turut berlari cemas.
                “Duh Nak, sebaiknya cepat jauh-jauh dari tempat ini. Peserta demo yang disana itu mulai anarkis dan membakar kantor polisi.” Jawab ibu tadi terengah-engah. Naya melihat kembali kearah kerumunan itu.
                “Memangnya apa masalahnya, Bu?” hening, tak ada yang menjawab. Ibu tadi telah pergi berlari tunggang langgang sementara ia belum memutuskan hendak berbuat apa.
                Di depannya, Naya melihat belokan kecil. Ia memutuskan berjalan ke arah sana. Sedikit berlari kecil ditengah kumpulan manusia dengan segala kepentingannya. Khawatir muali menjadi atmosfir dalam kondisi seperti ini. Segala pikiran spontanitas telah dipersiapkan Naya untuk penyelamatan diri selanjutnya. Toko-toko disekitaran jalan itu mulai menutup trail mereka dan Kota tiba-tiba menjadi tempat paling mencekam yang pernah gadis itu tempati. Ditengah langkahnya, Naya melihat seorang anak kecil menangis, sendiri. Pikirannya membuat kaki Naya menjaadi berubah haluan dengan sendirinya. Naya menghampiri anak kecil itu. Entah karena rasa kemanusian atau ia memang tak sadar situasi seperti apa yang sedang dihadapinya sekarang
                “Adek, mamanya mana? Kenapa sendirian ?” tanya Naya dengan napas ngos-ngosan, namun hanya tangis dan air mata yang  menjadi jawaban. Ah, Naya merasa bodoh. Jelas saja anak kecil itu hanya menangis dalam keaadaan yang menggemparkan seperti ini. Ini ka bukan sebuah permainan yang sedang anak itu mainkan bersama teman-teman sebayanya. Ini permainan mereka yang menganggap dirinya dewasa untuk melewati masalah atau mungkin permaian Dewasa yang meyamar menjadi kanak-kanak tak tau aturan tak tau bagaimana cara menggunakan pikiran.
                Naya menggendong anak tadi. Bersyukurlah ia karena anak itu tidak terlalu berat, sepertinya berumur tiga tahun. Meskipun sedang dalam pelarian yang sengit, Naya berpikir bagaimana perasaan ibu anak ini sekarang. Dalam bayangannya mungkin kah sib u juga menangis seperti yang anak ini lakukan? Naya terus berlari sambil memikul beban yang ingin ditangunggya itu. Aroma-aroma terakar mulai sampai kehudungnya. Asap-asap amarah menguasai seluruh lini. Mendung semakin pekat karena hitamnya gas-gas memilukan itu.
                “Kenapa hujan tak mau turun disaat seperti ini?” keluh Naya dalam hati.
                Di pertigaan jalan kecil itu, Naya melihat sebuah toko yang masih terbuka. Terpikir plehnya untuk berlindung disana sejenak sampai waktu yang belum ia tentukan bersama anak kecil itu. Orang-orang sibuk menyelamatkan diri mereka masing-masing. Sebagian berlari sambil berkata-kata.
                “Aku dengar kerusuhan ini terjadi karena ada seorang polisi yang membunuh seorang wanita dan pihak kepolisisan hanya mengatakan ini adalah kecelakaan biasa.” Kata laki-laki disamping Naya.
                “Ah, memang di Dunia ini kalau belum menyusahkan orang lain, rasanya belum lengkap saja hidupnya!” ujar laki-laki satunya.
                Begitulah yang didengar Naya. Tak terasa Naya telah sampai di toko yang ia maksudkan tadi. Sepi, tak ada penghuni. Ia memberanikan diri masuk bersama bocah yang masih dalam gendongannya. Ia benar-benar lelah. Naya memeriksa isi toko itu, tak ada manusia satu pun di dalamya. Pikiran Naya buntu. Ia memutuskan untuk berisyirahat di situ dan mengunci pintu. Dilihatnya bocah tadi yang masih sedikit sesenggukan. Naya mengambil sebuah jajanan dan memberikannya pada bocah itu. Perlahan hanya ada sunyi diantara mereka berdua.
                “Nama adek siapa?” Naya memulai percakapan kecil mereka
                “Tino.” Balas bocah itu pelan.
                “Mamanya Tino mana? Kok tadi kakak lihat Cuma sendirian?”
                “aku ndak tahu, tadi mama lari terus kau ditinggal.” Jawabnya lagi tanpa melepaskan jajanan yang Naya beri.
                Kasihan bocah ini, jelas saja maksud ibunya bukanlah meninggalkannya senidri. Naya bertekat untuk mencari orang tua bocah ini jika kerusuhan sudah mulai mereda. Ditatapnya bocah itu lekat-lekat, Naya teringat kedua orang tuanya dan urusan penting yang ternyata membawanya pada siatuasi seperti ini. Tidak ada handphone, yang tersisa hanyalah nyali dan keberuntungan. Entah ia harus mengutuk pendemo itu atau menghujat si polisi yang katanya menjadi dalang dari peristiwa ini. Terlebih dulu, ia menyesali emosi-emosi manusia yang terlalu diluar kendali seperti ini. Nasib sial yang sedang menimpanya membuatnya bingung ingin menyalahkan siapa.
                Waktu semakin berlalu, tapi suara-suara tak juga kunjung diam. Naya melihat bocah disampingnya mulai tertidur. Ia membaringkan anak itu di pangkuannya. Bosan dan pengang juga teranya di paru-paru Naya terlalu lama diam diruangan sempit seperti ini. Naya hendak keluar dan menilik situasi, namun suara-suara yang makin keras kian mendekat untuk sampai di telunga Naya. Peluh membasahi keningnya. Kekhawatira dan sikap siaga yang bagaimana lagi yang mampu seorang remaja kecil sepertinya lakukan. Naya menyeret langkanya ke sudut ruangan bersama bocah dalam gendongannya. Suara-suara semakin dekat, demikian juga kemungkinan-kemungkinan yang dimilikinya sekarang.
                Terliahat manusia-manusia dengan jerigen berisi entah itu apa terlihat melalui jendela tempat Naya bersembunyi. Ia mulai kalut, suara-suara semakin berkelut sedang bocah itu msaih tertidur pulas dalam pelukan erat Naya. Ia ingin berteriak namun hanya napas-napas jengah yang keluar dari mulut Naya. Kaca-kaca Riben membuat sosoknya tak terlihat dari luar.
                “Bakar saja toko pembunuh itu! Dasar bajingan tak tahu diri!” teriakan dari luar yang terdengar olehnya membuat ia merasa berakhir. Langkah kakinya bersama bocah itu ternyat amebawanya pada Neraka yang tak mau ia impikan. Naya pasrah, lalu api mulai tersulut. Emosi-emosi dini menjadi bahan bakar tak terkalahkan. Teriakan-teriakan puas, sebagian juga miris. Semua bercampur menjadi nyanyian duka bagi Naya dan bocah dalam gendonganya,
                “Kita berakhir disini, Dek. Maaf membawamu pada maut bukanya pada pelukan hangat mamamu.” Ucap Naya pada anak dalam pelukannya, lalu panas mulai mnyergap. Sakit, perih, sesak di dada. Perlahan kesakitan merudupkan pandangan yang ia punya. Begini rasanya terbakar.
                Naya terbangun pada pendar cahaya yang terbias samar oleh retinanya. Panas sekali, peluh menutupi setiap pori-pori di tubuhnya. Plapon dengan cat pink, ksur dengan seprai coklat, ia dengan baju tidur Winnie De Pooh nya. Kesadaran demi kesadaran mulai terkumpul. Tak ada bocah dalam pelukannya, tak ada gegap gempita kerusuhan dan segala sumpah serapahnya. Hanya ada dia, sendiri diselimuti sunyi. Napasnya terengah-engah, belum pernah ia mimpi seburuk ini. Rasanya tak bisa tidur lagi. Diliriknya jam yang msih bertahan pada angka 5. Shubuh menghampiri mengucapkan selamat pagi dan turut berduka atas segala mimpi malam ini.
                Demikianlah waktu berjalan dan ia hanya terjaga. Pagi itu di sekolah pikiran Naya kacau akibat mimpi yang menyeramkan itu. Saharian ia tak bisa konsentrasi mendengarkan segala pelajaran. Matanya berat seperti ia tak tertidur malam tadi. Ia habiskan waktu pelajarannya dengan mencoret-coret bagian belakang buku miliknya.
                “Naya!” terdengar suara kecil itu seperti petir menggelegar saja.
                “pasti dimarahi lagi sama Pak Harun.” batin Naya.
                “tadi petugas TU berkata kalau orang tua kamu menelepon dan meminta kamu untuk segera pulang. Mereka bilang ada hal penting dan kamu diperbolehkan izin pulang sekarang.” Lanjut Pak Harun.
                Naya diam, berpikir. Ini rasanya seperti de javu  yang sering dibacarakan orang. Tangan Naya dingin. Mimpi itu, hari ini. Tidak mungkin. Peluh dan segala kekhawatiran menyergapnya.
                “Apa selanjutnya?” Naya berkata pada diri sendiri.
END
Sumbawa, Jumat 26 April 1013Pukul 00.38

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog. Copyrights 2011.