Gelapnya malam kembali datang,
memenuhi panggilan di atas panggung Januari yang dalam perjalanan menuju akhir.
Datangnya tiap semilir angin membawa selaksa penuh rasa kantuk bagi yang
terkena, termasuk pada gadis dengan pakaian tidur Winnie De Pooh di sudut
tempat tidurnya. Hidup dan segala aktifitasnya membuat malam dijadikan sandaran
nyaman menguapkan lelah bagi para musafir Tuhan. Cukup lama gadis tadi hanya
duduk dan membiarkan pikirannya pergi jauh bertualang, kemudian saat ia telah
merasa cukup maka ia memutuskan untuk berbaring. Keheningan mulai menuntun ke
dalam lelap yang hanya miliknya sendiri, disitu. Ia membiarkan dingin
mengantarkannya ke dalam balik kelopak mata, kepada layar-layar terkembang
miliknya dan malam.
Pagi
itu telah terlihat dua kaki yang menopang tubuh seorang gadis di depan bangunan
besar bercat hijau tua, sama tuanya dengan bangunan itu. Sebuah perpustakaan
ilmu milik manusia yang telah dipenuhi peminjam segala ruang di bumi. Manusia
dengan segala rupa dan gaya, berjalan dengan siapa yang dia ingin, menjauhi
siapa yang dia ingin. Gadis tadi hanya memindahkan tiap derik langkahnya
sendiri, mendengar tiap dentuman suara telapak kaki siapa saja yang
melewatinya. Bisingnya suara-suara hanya membuat ia seidikit memicingkan mata
menajamkan segala indera, suara siapa, bicara apa.
“Naya!”
suara terfokus yang mampu tertangkap indera gadis tadi, ia berhenti. Nama yang
dipanggil itu miliknya.
“Lesu
sekali pagi-pagi?” lanjut gadis satu lagi.
“Pagi
ini yang mengirmkan lesu. Mendung dibagi hujan, kurang rasanya.” balas Naya.
Mereka bertiga mengayunkan langkah bersama, menuju satu kelas diantara
ruang-ruang berjejer. Kelas tepat di depan pohon beringin, mereka berhenti.
Demikian
pagi berlalu bersama sederatan angka dan huruf yang melesak masuk memaksa
dicerna dalam kepala yang kemudian menciptakan sederetan euphoria dalam benak.
Bergntinya jarum-jarum waktu terasa terlalu cepat, lebih terlihat seperti
lompatan-lompatan ingatan yang datang untuk berlalu sehingga semua kejadian
hanya berupa sekelebat bayang yang segera hilang.
Seorang
laki-laki berpakain resmi masuk perlahan ke dalam kelas Naya. Ucapan-ucapan
ringan terdengar dalam suara bisik kepada guru yang sedari tak berhenti
bersuara. Kemudian saat dua pasang mata itu melirik kearah Naya, ia tahu ada
sesuatu tapi tetap menunggu.
“Naya,
tadi petugas TU berkata kalau orang tua kamu menelepon dan meminta kamu untuk
segera pulang. Mereka bilang ada hal penting dan kamu diperbolehkan izin pulang
sekarang.” Begitu yang Naya dengar dari gurunya. Urusan penting macam apa yang
diamksud orang tuanya hingga dia harus segera pulang. Naya masih terus berpikir
meskipun langkah kakinya mulai menjauhi kelas.
Teriknya
bintang siang hilang disembunyikan awan kelabu, tetapi sibuknya kota tak pernah
juga mereda. Naya memutuskan pulang berjalan kaki sampai belokan di ujung jalan
diaman ada tempat kemudian baru mencari angkutan umum. Aneh baginya berkeliaran
disepanjang jalan disaat ia seharusnya hanya duduk mendengar suara-suara di
bangku belajarnya. Meskipun ia tahu ada hal penting yang katanya sedang
menunggu dia di rumah, Naya teta berlenggang santai menyusuri tiap garis-garis
aspal di depannya. Tak ada kesunyian
yang merbahkan diri ditengah-tengah hiruk pikuk manusia. Rebut sekali terdengar,
suara motor dan mobil yang berseliweran tank behenti, suara orang-orang dengan
segala kepentingannya sendiri, bergabung menjadi harmonisasi gaduhnya jalan
raya.
Pandangan
Naya yang terkadang lurus kedepan menangkap segerobolan massa yang entah sedang
apa. Ada mobil polisi memimpin kerumunan “Hanya demo.” pikir Naya. Memang tepat di depan massa itu adalah sebuah kantor polisi.
Apalagi yang diributkan oleh manusia-manusia itu. Tuntutan-tuntutan atas segala
keinginan yang belum terpenuhi atau sebuah legalisasi demokrasi untuk
menunjukan diri, siapa aku atau lihatlah aku.
Kerumunan
massa tadi hanya berjarak 20 meter dari tempat Naya berjalan. Saat tiba-tiba
semua orang mulai berlarian menjauhi keramaian, Naya terhenyak. Kebisingan tak
lagi tentang suara motor dan mobil yang bersautan namun juga suara manusia
dengan segala keributan. Di depan kantor polisi tadi, massa mulai tak
beraturan, Naya sadar ada yang tidak beres. Ia sendiri kebingungan hendak lari
kemana, sedang halte yang menjadi tujuannya tepat dua bangunan setelah kantor
polisi yang telah ramai itu. Ingin kembali ke sekolah juga terasa percuma
setelah setengah jalan tertah terlewati.
“Bu,
ada apa? Kenapa semua orang jadi rebut seperti ini?” Naya bertanya pada salah
seorang Ibu-ibu yang turut berlari cemas.
“Duh
Nak, sebaiknya cepat jauh-jauh dari tempat ini. Peserta demo yang disana itu
mulai anarkis dan membakar kantor polisi.” Jawab ibu tadi terengah-engah. Naya
melihat kembali kearah kerumunan itu.
“Memangnya
apa masalahnya, Bu?” hening, tak ada yang menjawab. Ibu tadi telah pergi
berlari tunggang langgang sementara ia belum memutuskan hendak berbuat apa.
Di
depannya, Naya melihat belokan kecil. Ia memutuskan berjalan ke arah sana.
Sedikit berlari kecil ditengah kumpulan manusia dengan segala kepentingannya.
Khawatir muali menjadi atmosfir dalam kondisi seperti ini. Segala pikiran
spontanitas telah dipersiapkan Naya untuk penyelamatan diri selanjutnya.
Toko-toko disekitaran jalan itu mulai menutup trail mereka dan Kota tiba-tiba
menjadi tempat paling mencekam yang pernah gadis itu tempati. Ditengah
langkahnya, Naya melihat seorang anak kecil menangis, sendiri. Pikirannya
membuat kaki Naya menjaadi berubah haluan dengan sendirinya. Naya menghampiri
anak kecil itu. Entah karena rasa kemanusian atau ia memang tak sadar situasi
seperti apa yang sedang dihadapinya sekarang
“Adek,
mamanya mana? Kenapa sendirian ?” tanya Naya dengan napas ngos-ngosan, namun
hanya tangis dan air mata yang menjadi
jawaban. Ah, Naya merasa bodoh. Jelas saja anak kecil itu hanya menangis dalam
keaadaan yang menggemparkan seperti ini. Ini ka bukan sebuah permainan yang
sedang anak itu mainkan bersama teman-teman sebayanya. Ini permainan mereka
yang menganggap dirinya dewasa untuk melewati masalah atau mungkin permaian Dewasa
yang meyamar menjadi kanak-kanak tak tau aturan tak tau bagaimana cara
menggunakan pikiran.
Naya
menggendong anak tadi. Bersyukurlah ia karena anak itu tidak terlalu berat,
sepertinya berumur tiga tahun. Meskipun sedang dalam pelarian yang sengit, Naya
berpikir bagaimana perasaan ibu anak ini sekarang. Dalam bayangannya mungkin
kah sib u juga menangis seperti yang anak ini lakukan? Naya terus berlari
sambil memikul beban yang ingin ditangunggya itu. Aroma-aroma terakar mulai
sampai kehudungnya. Asap-asap amarah menguasai seluruh lini. Mendung semakin
pekat karena hitamnya gas-gas memilukan itu.
“Kenapa
hujan tak mau turun disaat seperti ini?” keluh Naya dalam hati.
Di
pertigaan jalan kecil itu, Naya melihat sebuah toko yang masih terbuka.
Terpikir plehnya untuk berlindung disana sejenak sampai waktu yang belum ia
tentukan bersama anak kecil itu. Orang-orang sibuk menyelamatkan diri mereka
masing-masing. Sebagian berlari sambil berkata-kata.
“Aku
dengar kerusuhan ini terjadi karena ada seorang polisi yang membunuh seorang
wanita dan pihak kepolisisan hanya mengatakan ini adalah kecelakaan biasa.”
Kata laki-laki disamping Naya.
“Ah,
memang di Dunia ini kalau belum menyusahkan orang lain, rasanya belum lengkap
saja hidupnya!” ujar laki-laki satunya.
Begitulah
yang didengar Naya. Tak terasa Naya telah sampai di toko yang ia maksudkan
tadi. Sepi, tak ada penghuni. Ia memberanikan diri masuk bersama bocah yang
masih dalam gendongannya. Ia benar-benar lelah. Naya memeriksa isi toko itu,
tak ada manusia satu pun di dalamya. Pikiran Naya buntu. Ia memutuskan untuk
berisyirahat di situ dan mengunci pintu. Dilihatnya bocah tadi yang masih
sedikit sesenggukan. Naya mengambil sebuah jajanan dan memberikannya pada bocah
itu. Perlahan hanya ada sunyi diantara mereka berdua.
“Nama
adek siapa?” Naya memulai percakapan kecil mereka
“Tino.”
Balas bocah itu pelan.
“Mamanya
Tino mana? Kok tadi kakak lihat Cuma sendirian?”
“aku
ndak tahu, tadi mama lari terus kau ditinggal.” Jawabnya lagi tanpa melepaskan
jajanan yang Naya beri.
Kasihan
bocah ini, jelas saja maksud ibunya bukanlah meninggalkannya senidri. Naya
bertekat untuk mencari orang tua bocah ini jika kerusuhan sudah mulai mereda.
Ditatapnya bocah itu lekat-lekat, Naya teringat kedua orang tuanya dan urusan
penting yang ternyata membawanya pada siatuasi seperti ini. Tidak ada
handphone, yang tersisa hanyalah nyali dan keberuntungan. Entah ia harus
mengutuk pendemo itu atau menghujat si polisi yang katanya menjadi dalang dari
peristiwa ini. Terlebih dulu, ia menyesali emosi-emosi manusia yang terlalu
diluar kendali seperti ini. Nasib sial yang sedang menimpanya membuatnya
bingung ingin menyalahkan siapa.
Waktu
semakin berlalu, tapi suara-suara tak juga kunjung diam. Naya melihat bocah
disampingnya mulai tertidur. Ia membaringkan anak itu di pangkuannya. Bosan dan
pengang juga teranya di paru-paru Naya terlalu lama diam diruangan sempit
seperti ini. Naya hendak keluar dan menilik situasi, namun suara-suara yang
makin keras kian mendekat untuk sampai di telunga Naya. Peluh membasahi
keningnya. Kekhawatira dan sikap siaga yang bagaimana lagi yang mampu seorang
remaja kecil sepertinya lakukan. Naya menyeret langkanya ke sudut ruangan
bersama bocah dalam gendongannya. Suara-suara semakin dekat, demikian juga
kemungkinan-kemungkinan yang dimilikinya sekarang.
Terliahat
manusia-manusia dengan jerigen berisi entah itu apa terlihat melalui jendela
tempat Naya bersembunyi. Ia mulai kalut, suara-suara semakin berkelut sedang
bocah itu msaih tertidur pulas dalam pelukan erat Naya. Ia ingin berteriak
namun hanya napas-napas jengah yang keluar dari mulut Naya. Kaca-kaca Riben
membuat sosoknya tak terlihat dari luar.
“Bakar
saja toko pembunuh itu! Dasar bajingan tak tahu diri!” teriakan dari luar yang
terdengar olehnya membuat ia merasa berakhir. Langkah kakinya bersama bocah itu
ternyat amebawanya pada Neraka yang tak mau ia impikan. Naya pasrah, lalu api
mulai tersulut. Emosi-emosi dini menjadi bahan bakar tak terkalahkan.
Teriakan-teriakan puas, sebagian juga miris. Semua bercampur menjadi nyanyian
duka bagi Naya dan bocah dalam gendonganya,
“Kita
berakhir disini, Dek. Maaf membawamu pada maut bukanya pada pelukan hangat
mamamu.” Ucap Naya pada anak dalam pelukannya, lalu panas mulai mnyergap.
Sakit, perih, sesak di dada. Perlahan kesakitan merudupkan pandangan yang ia
punya. Begini rasanya terbakar.
Naya
terbangun pada pendar cahaya yang terbias samar oleh retinanya. Panas sekali,
peluh menutupi setiap pori-pori di tubuhnya. Plapon dengan cat pink, ksur
dengan seprai coklat, ia dengan baju tidur Winnie De Pooh nya. Kesadaran demi
kesadaran mulai terkumpul. Tak ada bocah dalam pelukannya, tak ada gegap
gempita kerusuhan dan segala sumpah serapahnya. Hanya ada dia, sendiri
diselimuti sunyi. Napasnya terengah-engah, belum pernah ia mimpi seburuk ini.
Rasanya tak bisa tidur lagi. Diliriknya jam yang msih bertahan pada angka 5.
Shubuh menghampiri mengucapkan selamat pagi dan turut berduka atas segala mimpi
malam ini.
Demikianlah
waktu berjalan dan ia hanya terjaga. Pagi itu di sekolah pikiran Naya kacau
akibat mimpi yang menyeramkan itu. Saharian ia tak bisa konsentrasi
mendengarkan segala pelajaran. Matanya berat seperti ia tak tertidur malam
tadi. Ia habiskan waktu pelajarannya dengan mencoret-coret bagian belakang buku
miliknya.
“Naya!”
terdengar suara kecil itu seperti petir menggelegar saja.
“pasti
dimarahi lagi sama Pak Harun.” batin Naya.
“tadi
petugas TU berkata kalau orang tua kamu menelepon dan meminta kamu untuk segera
pulang. Mereka bilang ada hal penting dan kamu diperbolehkan izin pulang
sekarang.” Lanjut Pak Harun.
Naya
diam, berpikir. Ini rasanya seperti de
javu yang sering dibacarakan orang.
Tangan Naya dingin. Mimpi itu, hari ini. Tidak mungkin. Peluh dan segala
kekhawatiran menyergapnya.
“Apa
selanjutnya?” Naya berkata pada diri sendiri.
END
Sumbawa, Jumat 26 April 1013Pukul 00.38
0 komentar:
Posting Komentar