Selasa, 12 Juli 2011

Kehendak dan Takdir (II)


            
            Anton sebenarnya menyadari bahwa Anjar adalah anak yang baik. Hanya keadaan  yang kurang tepat sehingga membuatnya menjadi anak yang tak mau peduli pada sekitarnya. Anton yakin, jika ia mampu membuat Anjar menyadari kalau tidak terlalu buruk jika ia mau peduli pada anggapan orang lain. Singkatnya, takkan merugikan kehidupannya.
            Di lain keadaan, Anjar bersiap-siap pergi ke tempat Anton. Seperti biasa, dengan pakaian semrawut. Anjar keluar rumah dan menunggu taxi yang sudah ia pesan daritadi di depan gerbang rumah Anron. Mukanya masih terlihat begitu kusut, tatapan mata kosong sampai-sampai ia tak sadar taxi yang ia pesan sudah ada di hadapannya.
            “Ke alamat ini, Pak!” Anjar menyerahkan secarik kertas yang diberi Anton tadi pagi pada supir taxi kemudian naik ke dalamnya.
            Seminggu yang lalu Anjar masih merasa dirinya singa yang hendak memakan seonggok daging, kini telah menjadi seonggok daging yang hendak dimakan singa. Memalukan sekali baginya jka orang-orang yang pernah ia remehkan mengetahui bahwa ia telah benar-benar tak berdaya sekarang, ia pun tak mau mereka semua tahu.
            “Masih lama ya sampainya, Pak?” tanya Anjar oada supir taxi yang ia naiki.
            “Palingan 5 menit lagi sampai, Mas.” Jawab supir taxi itu.
            Waktu berjalan begitu membosankan. Sampai akhirnya Anjar sampai juga di rumah sakit tempat Anton, pamannya kerja. Ini pertama kalinya Anjar menginjakan kaki di sebuah rumah sakit padahal ia tak sakit sama sekali. Aneh sekali bagi Anjar, semua yang dialaminya sejak tinggal di rumah Anton.
            Anjar terus saja mengikuti kemana kakinya melangkah. Meja resepsionis, di sana Anjar menanyakan ruangan Anton bekerja.
          
  “Maaf sus, ruangannya Dr. Anton di mana ya?”
            “Oh, mas lurus saja, terus ada belokan pertama, mas belok kanan saja. Ruangannya paling ujung.” Jawab salah seorang suster yang bertugas.
            “Makasih, Sus.”
            Anjar mengikuti arah yang diberitahukan suster tadi. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti, perhatiannya terkuras oleh seorang gadis yang duduk termenung di salah satu kursi taman rumah sakit. Seorang gadis yang pandangannya terlihat begitu sejuk dan damai. Mata Anjar tak beranjak sedikit pun dari gadis itu.
            Rasa tertarik untuk mengenal gadis itu muncul dalam benak Anjar. Entah mengapa ia hanya tertarik pada gadis itu. Padahal banyak gadis lain juga yang berdiam di taman itu. Anjar mengubah tujuannya, mengarahakan kaki ke taman rumah sakit. Namun baru satu langkah Anjar hendak beranjak, terdengar suara laki-laki. Sepertinya Anjar tau itu suara siapa.
            “Kau sudah ada di sini rupanya. Kenapa tak langsung keruangan ku?” suara Anton membuat Anjar terperanjat.
            “Ehh,, anuu…ta..tadi aku ingin melihat lihat dulu sebelum ke ruanganmu.” Jawab anjar. Ia terlihat begitu gugup. Kemungkinan karena ia kaget dengan kedatangan Anton.
            “Benarkah begitu?”
            “kenapa, apa kau tak percaya?”
            “Menurutmu bagaimana. ya sudah, kau mau diam di sini sendiri atau ikut keruanganku?” kata Anton menawarkan sembaro tersenyum penuh misteri dan Anjar benci semyuman itu.
            Anton meninggalkan Anjar, dan Anjar terpaksa mengurungkan niatnya untuk menghampiri gadis yang mampu membuatnya kagum pada pandangan pertama kemudian mengikuti langkah pamannya.
            Anton masuk ke ruang kerjanya. Anjar dipinta untuk duduk di sebuah kursi yang terletak di pojok ruangan. Pembicaraan dimulai.
            “Ada hal penting apa hingga kau menyuruhku ke sini?” tanya Anjar memulai pembicaraan.
            “Tak ada hal penting, aku han ya ingin mengajakmu ngobrol.”
            “Kenapa tidak di rumah saja, apa harus di tempat kerjamu?”
            “Apa aku boleh menanyakan sesuatu?”
            “boleh saja, asal jangan menanyakan sesuatu hal yang tak kusuka saja karena aku takkan mau menjawab!”
            “Apa kau bahagia dengan hidupmu sekarang, hidup yang selalu melukai perasaan orang lain, menghina orang lain?”
            “Untuk apa kau menanyakan itu, itu bukan urusanmu!” nada bicara Anjar mulai judes.
            “Aku hanya ingin tau. Kau tak ingin menjawab atau tak bisa menjawab. Ku fikir kau bukan seorang pengecut yang lari dari sebuah pertanyaan bukan?”
            “Apa kau akan berjanji takkan memberitahukannya pada siapapun jika aku memberitahumu alasanku melaukan semua itu?”
            “Tentu, karena aku bukan pengecut. Aku takkan ingkar janji!”
            “Karena mereka tak pernah pedulikan aku.” tiba-tiba suara Anjar bergetar.
            “Mereka?” kali ini muka Anton benar-benar serius.
            “Ibu dan yang lainnya. Kenapa mereka harus memasukanku ke asrama anak nakal, kemudian menitipkanku padamu. Apa mereka benar-benar ingin mengusirku dari kehidupan mereka?”
            “Aku kira bukan begitu maksud ibumu. Dia hanya ingin kamu berubah jadi lebih baik.”
            “Sudahlah, aku pergi dulu. Lagipula seorang dokter pasti banyak pasiennya.” Anjar mengakhiri pembicaraan dan keluar dari ruangan Anton.
            Hatinya betul-betul tidak karuan karena pembicaraan tadi. Ia benci harus membahas hal itu pada Anton. Tapi segera muka Anjar berubah menjadi girang setelah melihat bahwa gadis yang ia lihat tadi di taman masih pada tempatnya semula.
            Dengan yakin ia langkahkan kaki menuju kursi tempat gadis itu duduk seraya terus memperhatikan tatapan kosong nan sejuk. Namun sepertiya gadis itu sadar dirinya sedang diintai. Anjar tersentak kaget saat gadis yang diincar itu menoleh kearahnya.
            “Kenapa melamun?” dengan percaya diri Anjar memulai pembicaraan dengan gadis yang belum dikenalnya.
            “Siapa kau?” balas sang gadis dengan nada mencemooh.
            “Aku, aku Anjar, boleh tau namamu nona?” Anjar mulai mengeluarkan jurus yang mampu meluluhkan hati wanita saat ia masih tinggal di Asrama Anak Nakal.
            “Aku tidak menanyakan namamu, siapa kau percaya diri sekali menyapa ku. Kau bahkan tidak megenalku!” nada bicaranya semakin kasar. Nampaknya jurus yang dianggap ampuh itu tidak bekerja dengan baik pada gadis yang satu ini.
            “Apakah syarat menyapa seseorang itu harus mengenalnya terlebih dahulu? Bukankah untuk mengenal sesorang, kita harus menyapa dulu kemudian menanyakan ‘hai, siapa namamu’!”
            “Terserah apa katamu. Mau apa kau di sini?”
            “Mau mengenal seeorang gadis yang sedang duduk di bawah pohon rindang. tapi sayangnya gadis itu terlalu sulit untuk dikenal.”
            “kasian sekali. Bisakah kau pergi dari hadapanku? Aku butuh ketenangan!”
            Anjar terperangah mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut gadis tadi. Seingat Anjar, baru dia yang menolak untuk diajak berkenalan dari sekian banyak perempuan yang diajaknya berkenalan. Benar-benar membuatnya penasaran dan ingin terus bertemu gadis itu. Segera Anjar lupakan percecokan antara dia dan pamannya, yang ada dibenaknya adalah bagaimana ia bisa berkenalan dan bertemu lagi dengan gadis itu. Adrenalindnya benar-benar tertantang. Sembari meninggalkan taman, pikirannya terus tergoncang karena kejadian tadi. Baru kali ini ia merasa tertarik bahkan sangat tertarik dengan perempuan. Padahal dulunya ia hanya senang untuk mempermainkannya saja.

To Be Continue

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog. Copyrights 2011.