Selasa, 12 Juli 2011

Kehendak dan Takdir


Hidupnya kosong tanpa kata-kata kotor itu. Memaki, memukul, ataupun membuat jengkel mereka yang dianggap menyebalkan seperti sudah menjadi rutinitas, haram ia tinggalkan. Mungkin semua itu sah dipilih menjadi alasan bagi Asrama Anak Nakal untuk menendangnya jauh-jauh dari tempat itu, dan menjadi sebuah catatan besar,  pada sebuah realita mereka telah mengibarkan bendera putih untuk menjinakan seorang remaja nakal yang sepertinya terlahir memang bukan untuk dijinakan.
Anjar sudah bosan bahkan tampaknya kebal dengan semua kontra yang disampaikan atas sikap badungnya. Ibu Anjar hanya punya satu cara, setidaknya ini cara terakhir yang menjadi pilihan untuk mengirimkan Anjar pada pamannya di luar kota. jika ia dipisahkan dari teman-teman sesama badung, mungkin ia akan sedikit demi sedikit merubah sikap tak acuhnya, pikir ibu Anjar. Semoga.
“Ibu yakin, apa ibu tak akan rindu jika aku pergi ke Kediri nanti?” kata Anjar. Bandara terasa pengap dengan tumpukan penumpang beserta barang-barang bawaanya. Anjar beruntung karena Ibu mengijinkan sahabat-sahabatnya ikut mengantar kepergian Anjar. Joe dan Andi terlihat agak aneh sejak Anjar keluar dari Asrama Anak Nakal. Pikir Anjar: mereka mungkin mengira aku sudah gila sampai harus mengirim aku kerumah seorang paman yang bekerja sebagai seorang psikiater, separah inikah aku?
“Tentu ibu yakin, bahkan lebih yakin dari yang pernah kau pikirkan. Mungkin ibu akan lebih rindu dengan sikap manismu dulu, Nak!” jawab ibu Anjar dengan muka serius. menurut Anjar jawaban ibu bukanlah menjadi masalah karena sebenarnya pertanyaan tadi dianggapnya sebagai sebuah lawakan perpisahan.
“Penumpang Garuda Airlines jurusan Jakarta-Kediri bisa segera menuju pesawat. Siapkan kartu anda untuk diperiksa oleh pramugari. Harap tidak merokok di dalam.”
Ibu memberikan banyak instruksi, pesan dan kuliah terakhir sebelum ia terbang ke tanah rantau. Anjar sama sekali tak mendengarnya karena keributan orang berjubel di gerbang keberangkatan, alsan lain memang ia tak mau mendengarkan ibunya.
Ia berjabat tangan dengan Joe dan Andi, mengucapkan salam perpisahan.
“Cepat pulang sobat, kami tak punya ketua tanpa kau di sini.” Ucap Joe dengan suara tegang.
“jangan lupa mengirimi kami e-mail bro, beritahu kabarmu di sana. Siapa tahu ada wanita cantik yang bisa kau kenalkan pada kami.” lelucon Andi. Sepertinya Anjar akan lama tak mendengar semu kelucuan Andi.
Percakapan pendek namun cukup menjadi kenangan terakhir sebelum ia pergi. Setelah memeluk ibunya, Anjar menuju pesawat, dan waktu berkelebat disekelilingnya.
            Untuk: Andi
            Di sini tidak terlalu buruk. Pamanku cukup baik untuk awal-awal ini. Bagaimana kabarmu dan Joe? Ku fikir takkan begitu membosankan tanpa aku di sana.
            Aku dimasukan ke sekolah udik oleh pamanku. Hari pertama masuk, aku di bawa ke  ruang kepala sekolah karena mengatai salah satu guru “brengsek”, aneh bukan. Sekolah itu penuh tumpukan kutu buku membosankan.di tambah lagi setiap aku lapar, aku harus sibuk mencari sesuatu untuk ku makan. Pamanku sudah lama bercerai dengan istrinya.
            Sesuatu masih menjanggal pikiranku. Pamanku bisa langsung mengenali aku sesampainya di bandara, seperti pernah melihatku sebelumnya saja. Munkin ia keturunan mama Lauren. Hahahahahahah……

            Anjar berhenti sejenak mengetik e-mail untuk Andi. Anjar masih merasa aneh dengan jawaban Anton pamannya saat ia bertanya mengapa Anton bisa langsung mengenali Anjar, jawabannya adalah “Karena aku seorang psikiater, Nak!”
            Dalam bayangan hidup Anjar akan suram jika ia bersama pamannya, itu pikirnya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini pada Anjar. Pikirannya semrawut, melanglang buana mengitari seantero jagat raya yang bisa ia capai. Pikirannya terpecah saat Anton tiba-tiba datang ke kamarnya.
            “Bagaimana hari pertamamu sekolah, Anjar?” Anton memulai pembicaraan.
            “Biasa saja Paman Anton.” jawab Anjar singkat.
            “benarkah begitu keponakan Anjar?”
            Anton tak suka dipanggil paman. Itu juga menjadi salah satu hal yang masih difikirkan Anjar. Sejak tinggal di rumah pamannya, ia tak berani banyak bertingkah, takut-takut ia akan dimasukan rumah sakit jiwa. Anjar masih berfikir kalau ia harus bisa menjaga sikap, paling tidak hanya saat di rumah.
                Benar-benar tak pernah di khayalkan sebelumnya oleh Anjar, bahwa ia akan takut pada pamannya. Padahal sebelum itu ia tak pernah takut pada siapapun, bahkan mengumpat semua orang yang menghalangi kemauannya. Kini ia mengerti mengapa ibu sangat yakin mengirimnya pada Anton. Ibu benar-benar mengobrak-abrik harga dirinya sebagai seorang anak badungan.
            “Maaf paman, euummm maksudku Anton. Tumben jam segini sudah pulang?” tanya Anjar.
            “Kau sudah makan?”
            “Sudah tadi, penjual bakso lewat dan aku memutuskan untuk makan dengan itu.”
            “syukurlah, aku akan ke ruang kerja dulu.” kata Anton seraya meninggalkan kamar Anjar. Sosok Anton masih sangat asing dimengerti dan dicerna oleh Anjar. Bisa dibilang ada faktor lain, Anjar memang tak terbiasa untuk mau tahu dan takkan mau tahu mengapa orang lain bersikap aneh padanya. Tapi tidak untuk tragedi yang satu ini.
            Pagi yang cerah untuk bumi tua. Matahari menempati singgasananya. Ada yang berbeda hari ini, Anton membangunkan Anjar lebih pagi. Anjar yang terlelap dalam mimpinya geram saat harus melewatkan sebuah kebersamaan khayal. Ia memimpikan Andi, Joe dan teman-teman satu gengnya yang lain.
            “Kenapa?”Tanya Anjar jengkel. Mukanya terlihat kusut sekali.
            “Nanti jam 11 siang datanglah ke rumah sakit tempat aku bekerja. Naik taxi dan ini alamat rumah sakitnya.” Anton menyerahkan secarik kertas pada Anjar.
            “Tapi untuk apa aku ke sana?” tanya Anjar penasaran. Kali ini dia benar-benar jengkel. Mencoba menebak apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Anton. Apa Anton benar-benar menganggapnya sedang mengalami gangguan jiwa. Perasaannya campur aduk.  Memikirkan nasibnya setelah ini.
            “Datanglah dulu, nanti aku jelaskan kalu kau sudah ada di sana.” pinta Anton dengan tenang. Anton keluar dari kamar Anjar dengan meninggalkan pertanyaan besar.
            Anjar bangkit dari tempat tidur, menuju meja tempatnya menaruh laptop. Mencoba membuka kembali e-mail yang belum sempat ia kirim kepada Andi. Anjar mulai mengetik kembali.
            Aku hamper menjadi benar-benar gila. Anton menyuruhku datang ke rumah sakit tempat ia bekerja. Sepertinya dia benar-benar menganggap aku kurang waras.
            Jangan lupa balas e-mailku bro.
            Anjar menekan tombol send, e-mail pun terkirim.
To Be continue....

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog. Copyrights 2011.