Langit menyuguhkan bulan separuh yang larut luruh
dalam keheningan waktu. Rona gelap memenuhi setiap sisi cakrawala, tak bersisa.
Malam juga menggantung bintang meski hanya seorang. Entah, mungkin awan telah
sembunyikan sedikit terang untuk dirinya sendiri, tak mau berbagi. Begitupun bunyi,
seperti sepi yang bahagianya hanya diam yang tahu.
Aku
bak manusia yang mematung diatas pualam waktu. Berjalan detik pada menit
kemudian jam. Tapi aku tetap snediri, diam. Enggan raga mengikuti tur waktu,
hanya pikiran yang rela dibawa berkeliling bersamanya. Munafik juga, aku
menikmatinya.
Semua
buyar ketika ketika suara menarik kembali sadar kembali kepada tempat
semestinya. Dering handphone, benda mati pemecah sunyi. Sebuah pesan yang sejak
kapan ternyata telah kunanti.
“Semoga
malam tak terlalu membawamu pada khayal berupa aku. Kau tau itu tak perlu, Dev.
Aku tak rela menjadi khayal jika yang nyata bias kau rasa.”
Begitu
bunyi tulisan bisu yang kubaca. Bunyi-bunyi semu yang beberapa bulan dan malam
ini temani aku. Kulihat seuntai senyum tertarik pada sudut bibir bayangan di
depanku, senyumku. Aksara mulai menjadi permainan sempurna, menjadi teka-teki
rahasia.
“Malam
milikmu sepertinya lebih indah. Lihat saja, narsismu membuat langit rela
menggantung bintang seorang lagi, temani aku. Mengapa begitu, Dan? Padahal kita
sedang menatap malam yang sama, bukan?”
Benar,
namanya Dan. Lebih tepatnya, begitu aku memanggilmya. Manusia tanpa suara dan
rupa. Siapa dia hanya tergambar dalam 26 aksara yang berbentu gugusan kata dan
frasa. Manusia yang mengajakku melihat dunia dan rasa tak hanya menggunakan
mata tetapi juga sajak.
“Jangan
terlalu angkuh pada sepi, pun mereka bukan satu-satunya indera. Coba rasa, ada
bahagia dalam sunyi. Jika bias dapatkan, dia akan jadi milikmu, sendiri.”
Aku
berfikir sebentar, bagaimana mungkin dia memvonisku seperti itu. Angkuh seperti
apa yang dia anggap bersarang pada diriku? Entahlah, tapi membaca vonisnya ada
bagian dari tubuhku yang tersinggung. Lebih tampak seperti kebenaran yang
kututup-tutupi.
Dan
sering menggangguku dengan koleksi makna ambigu. Misalnya saja “Kau ini memang
penyusun kata-kata hilang yang ditemukan” dan aku juga sering mengejeknya
dengan sebutan “Tuan Semu” kemudian dia akan membalaskau dengan sebutan “Puan
Gamang”.
Malam
semakin erat memeluk gelap. Waktu menggandeng sunyi pergi berlalu. Derai angin
tak terloalu berminat ambil andil dalam sunyi. Jelas saja, setiap derunya
adalah desis yang tertangkap telinga.
“Dan,
memangnya apa definisimu tentang seorang angkuh?” pertanyaan yang mengawali
pembicaraan atau lebih tepatnya debat dengan sekelebat kata.
Dia
yang menganggap angkuh adalah cacat di badanmu yang biarpun kau berusaha
menghilangkannya, tapi bekas takkan pernah hilang pada apidermis kulit. Sedangkan
aku, menganggap angkuh adalah tembok dengan cat warna-warni yang sebenarnya
sangat tidak padu, tidak semestinya begitu.
Begitulah
aku mengucapkan selamat malam, dengan sajak nina bobo yang dikirimkan Dan “jangan
terjaga pada sunyi yang semua manusia tahu, biar tak ada bicara yang
memecahkannya.” Kemudin akupun kau antar pada balik kelopak mata.
Keesokan
pagi, saat pagi menyingsing fajar dan rona merah melukis awan, aku terjaga
karena sunyinya pagi itu hanya milkku. Kau mungkin akan bertanya apa yang
membuatku terlalu menggilai sepi seperti ini. Ya, apalagi kalau bukan karena
luka.
Ditinggalkan
karena ada yang meninggalkan. Mereka berpasangan, tetapi aku tidak
lagi-sendiri. Rasa sakit telah memilih sepi ebgai penawar, meskipun waktu adlah
sebenarnya obat yang kubutuhkan.
Ini
lebih tentang cinta yang direbut dan tak pernah dikembalikan, hingga sekarang. Ada
bagian yang patah, hati? Ya, hati. Jika bersama sepi, bagian mana yang akan
patah, lagi?
Aku
masih terbaring pada kenyamananku dengan setengah nyawa yang mungkin masih
tersangkut pada mimpi. Samar aku melihat gambar diriku pada sebuah bingkai di
atas rak buku, bersanding dengan seorang laki-laki yang tak ingin aku kenal
lagi. Lemas rasanya, bingkai kecil itu belum tersentuh sejak hari yang kusebut “mati
suri”. Meski seseklai tak sengaja retina mata menangkap dia dalam kesengajaan
hati.
Seperti
biasa, pagi ini dan pada watu seperti ini handphoneku bordering. Sebuah pesan
dari seorang teman tanpa rupa dan suara. Teman yang ku kenal dari sebuah dunia
yang mereka sebut maya.
“Hai,
surya sudah lahir kembali. Seperti biasa, kita akan menatap surya yang sama,
Dev. Semoga suryamu tak lebih dulu tenggelam seperti aku.”
Dahiku
berkerut, setan pagi mana yang membuat Dan menulis kata-kata semacam itu. Masih
ingat aku, baru tadi malam kukatakan malamnya lebih indah dari milikku. Ah,
benar. Sekarang pagi, bukan? Sepertinya dia ingin mengalah dan menyerahkan pagi
padaku.
“Hai,
Dan. Karena surya yang kita pandang adalh sama, bukannya harus tenggelam
bersama, juga?”
Tersenyum
sendiri aku menunggu balasan Dan. Semenit, sepuluh menit, satu jam. Mungkin kantuk
membawanya bermain kembali, huh dasar Tuan Semu.
“jam-jam
berlalu tak terlalu terburu. Hanya rasanya sedikit berbeda. Ada yang kurang. Yah
begitulah manusia sellu merasa, kurang dan jarang bertambah.n umurmu berkurang,
waktumu berkurang, dan kadang saja kau benar-benar merasa kebahagianmu
bertambah. Seperti layaknya menerawang bintang di siang hari. Saat kau
mendapatkan bintang pada malamnya, kamu mungkin telah buat karena menatap
matahari terlalu lama.
Aku
duduk sendiri di bangku taman kecil. Handphoneku bordering. Bukan pesan, sebuah
panggilan.
“Deva.”suara
seberang terdengar lirih menyapa.
“Iya
Fan, kenapa?”
“Sorry
Dev, Deri…”
“jangan
sebut namanya lagi, Fan!” mendengar hal itu bukanlah hal baik.
“Dev,
Deri udah ninggalin kita buat selamanya.”
Aku
berusaha mencerna kata-kata Fani. Ada nafas yang tak mau menerima oksigen di
dalam tubuhku. Aku berlari, begitulah yang kedua kakiku ingin. Hanya sebentar
waktu hingga aku tiba di parkiran dan segera memacu mobilku yang setelah aku
benar-benar sadar adalah kearah rumah Deri.
Bendera
kuning layu terkibar di depan pagar hitam yang telah kukenal. Aku benar-benar
terjaga. Sunyi tak lagi milik semua orang, hanya milikku. Gundukan air mata
telah siap jatuh dari peraduannya. Samar kulihat Fani berlari, memelukku. Sekilas
kulihat secarik kertas putih di tangannya yang kemudian ia selipkan di tanganku.
“Dari
Deri, Dev.” Begitulh yang ku dengar. Kali ini bukan hanya badanku yang
bergetar. Hatiku semaikn tak tau diam. Aku berjalan pelan, memasuki sebuah
pintu duka. Kulihat Deri tertidur, pulas. Ah, ait mataku benhar-benar pecah.
Kulihat
kembali surat yang diberi Fani.
“Hai, Dev. Aku takkan menjadi manusia dengan sejuya kata lagi bahkan di saat hidup membawaku kekeadaan yang tak lagi sama. Maaf Dev, aku tidak bias menunjukanmu sebuah perpisahan yang pantas, karena memang tak ada perpisahan yang manusia anggap pantas, bukan? Hingga saat aku menulis ini, nafasku terasa telah samapai di ujungnya. Tampaknya malaikat sidah tak sabar ingin menjadi temanku, Dev. Dev, aku hanya ingin kau tahu, hingga kau baca surat ini, tak ada cintaku yang bergeser dari tempatnya. Tak ada yang bergeser dari kenangan kita. Dev, cinta yang kupunya ini takkan pernah jadi milik akhir, hanya izinkanlah ia beristirahat sejenak.” PS: Maaf tak bias Membuat Surya kita tenggelam bersama.TertandaDerian Abnu Nevandra (D.A.N)
Aku
tercekat, bagaimana mungkin Deti sanggup melakukan ini. Dan, Deri. Manusia tanpa
suara dan rupa adalah wujud laki-laki yang kucinta dengan penuh duka. Bodohnya aku
selama ini. Aku ditipu kata-kata. Aku juga disiksa, nelangsa. Aku murka cintaku
direbut. Bagaimana caranya aku bias merebut cintaku kembali dari Maha Cinta?
Derian
Abnu Nevandra, semoga tak ada kebohongan yang tersisa dalam kata.karena
kuyakini meski menyiksa, cinta kita belum berakhir, kan? Seperti katamu, hanya
beristirahat sejenak.
END
Sumbawa, sabtu 23 Maret 2013
Tertanda
Dilla
Zhafarina
0 komentar:
Posting Komentar